Terasa Di Indonesia, Para ilmuwan Amerika Serikat (AS) – mengumumkan catatan penting yang dapat menentukan nasib bumi. Mengutip Mashable, berada di tempat terpencil di Samudera Pasifik sekaligus di dataran tinggi Hawaii, Observatorium Dasar Atmosfer Mauna Loa milik Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional atau National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) melakukan pengukuran atmosfer bumi harian yang tidak tercemar.
Ilmuwan Teriak “Kiamat” Bumi, Tandanya Terasa Di Indonesia– Pada bulan Mei ini, tingkat karbon dioksida (CO2) atmosfer mencapai 427 parts per million (ppm) atau meningkat hampir 3 ppm sejak Mei lalu (tingkat CO2 tahunan mencapai puncaknya pada bulan Mei, karena fluktuasi global alami) sekaligus menjadi puncak tingkat CO2 tertinggi yang pernah tercatat. Catatan berkelanjutan dari laboratorium tersebut memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi atmosfer bumi telah berubah sejak akhir tahun 1950-an.
Ilmuwan Teriak “Kiamat” Bumi, Tandanya Terasa Di Indonesia
Pada beberapa tahun terakhir, sejumlah ilmuwan global memberikan peringatan keras: “kiamat” ekologis sudah di ambang pintu. Meski istilah “kiamat” terasa dramatis, ancamannya nyata – dan jejaknya bahkan bisa kita rasakan di Indonesia. Berikut ulasan lengkapnya.
Apa itu “kiamat” yang disuarakan para ilmuwan?
Istilah “kiamat” dalam konteks ilmiah merujuk pada keruntuhan ekologis dan sosial akibat perubahan iklim ekstrem, rusaknya keanekaragaman hayati, dan kelangkaan sumber daya. Para ilmuwan memperingatkan, jika tren ini terus berlanjut tanpa mitigasi drastis, dunia bisa menghadapi kondisi bencana alam komprehensif—mulai suhu ekstrem, badai super, hingga krisis pangan massal.
Tren global utama:
-
Pemanasan global – suhu Bumi naik lebih cepat daripada 0,2 °C per dekade.
-
Penipisan es – 30+% volume es laut Arktik hilang sejak 1980-an.
-
Kepunahan massal – ribuan spesies terancam punah.
-
Krisis air & pangan – jutaan orang terancam kelaparan akibat produktivitas sawah dan lahan turun drastis.
Mengapa Ilmuwan Menggunakan Kata “Kiamat”?
Bahasa peringatan intens:
“Kiamat” dipakai bukan untuk membangkitkan rasa takut belaka, melainkan untuk menaikkan kesadaran: kondisi saat ini tak boleh dianggap remeh.
Tren ilmiah mendasarinya:
- Evaluasi IPCC dan IPBES – Panel antar pemerintah PBB menyatakan penurunan es laut dan kenaikan suhu tak bisa dijinakkan tanpa aksi segera.
- Planetary Boundaries – studi menunjukkan kita sudah melewati batas aman dalam lima domain (iptek, iklim, dan sebagainya).
- Buku “The Uninhabitable Earth” (David Wallace-Wells) – memaparkan skenario kedepan jika suhu naik 4–5 °C tanpa mitigasi.
Tanda-tanda “pojok kiamat” yang terasa di Indonesia
Apa saja sinyal yang sudah muncul di Nusantara? Berikut beberapa fakta dan data nyata:
a. Banjir & Abrasi Pesisir
- Frekuensi banjir di Jakarta meningkat: dari rata-rata 1–2x/tahun kini jadi 4–5x/tahun.
- Abrasi pantai di Jawa, Sumatra, Kalimantan mencapai 25–50 meter/tahun di beberapa lokasi.
- Contoh data: wilayah Pecinan, Tegalalang (Jawa Barat) kehilangan garis pantainya hingga 40 m selama dekade terakhir.
Kekeringan & Kekurangan Air Bersih
- Muskah separuh tahun seperti di NTT, NTT beberapa tahun belakangan mengalami musim kemarau yang lebih panjang; sumur tradisional mengering hingga 50%.
- Petani cabai di Lombok kehilangan >30% panen karena irigasi tersendat.
Suhu Ekstrem & Gelombang Panas
-
Suhu >36 °C sudah semakin biasa di Jawa Tengah–Timur dari Mei hingga September.
-
Gelombang panas (heatwave) melanda Jakarta pada 2023–2024, menyebabkan 15% peningkatan kunjungan ke fasilitas kesehatan karena heat stress.
Kebakaran Hutan & Kabut Asap
- Kebakaran gambut tiap tahun di Sumatra dan Kalimantan menyebabkan asap meluas ke negara tetangga.
- 2022 tercatat 1,5 juta hektare terlalu terbakar — catatan Greenpeace.
- Emisi CO₂ domestik naik >20% pada musim kemarau tahun tersebut.
Punahnya Spesies & Degradasi Laut
- Terumbu karang di perairan Raja Ampat dan Wakatobi menderita bleaching >60% akibat suhu tinggi.
- Data KKP: stok ikan ekonomis turun 30–45% di Sulawesi dan Jawa.
- Deforestasi di Kalimantan & Papua <jumlah hektar per tahun> – hutan primer hilang >300 ribu ha/tahun.
Dampak Ekologis & Sosial yang Terasa
Indonesia yang bergantung pada agroforestry, ikan tangkap, dan pariwisata alam, merasakan dampak langsung.
Ekonomi & Ketahanan Pangan
-
Petani padi menghadapi gagal panen & penurunan produktivitas.
-
Kuota impor beras meningkat: nilai impor naik 35% pada 2024 dibanding 2018.
-
Petani rempah, jagung, kopi juga hancur oleh perubahan musim.
Kesehatan & Kehidupan Sosial
-
Penyakit saluran pernapasan naik akibat polusi asap & kelembapan tinggi.
-
Tuberkulosis, diare, dan demam berdarah melonjak pada musim ekstrem.
-
Migrasi rakyat desa ke kota karena lahan tak lagi produktif – urbanisasi pun meluas.
Konflik & Ketegangan Sosial
-
Banjir, kekeringan, dan abrasi memicu pertempuran akses lahan dan air.
-
Perubahan demografis di daerah pesisir – transmigrasi diprogram, politik lokal berubah.
Apa yang Sudah dan Bisa Dilakukan?
Berikut langkah-langkah strategis untuk mitigasi dan adaptasi:
A. Pada Tingkat Global & Nasional
- Turunkan emisi karbon – implementasi komitmen NDC (Nationally Determined Contribution) dari Paris Agreement.
- Rehabilitasi gambut – dan moratorium deforestasi; memperkuat pengawasan.
- Percepat energi terbarukan – dari batubara ke PLTS, PLTB, PLTA kecil, dan biomassa.
B. Lokal & Komunitas
- Pertanian ramah iklim – sistem tumpang sari, agroforestry, dan penggunaan benih tahan kekeringan.
- Konservasi lahan – membangun mangrove, hutan kota, dan zona pantai lindung.
- Sistem peringatan dini – untuk banjir, longsor, dan gelombang panas.
- Educate & mobilisasi masyarakat – adaptasi gaya hidup berkelanjutan: daur ulang, efisiensi air, dan penanaman pohon.
C. Teknologi & Inovasi
- Irigasi pintar (smart irrigation) – sensor kelembaban membantu penghematan air.
- Pertanian vertikal & rumah kaca – untuk meningkatkan hasil di musim kering.
- Financial tools – mikroasuransi iklim untuk petani dan nelayan.
6. Studi Kasus: Keberhasilan Lokal yang Bisa Ditiru
Desa Kelay, Sumbawa
- Menanam tanaman tahan kekeringan seperti sorgum, kacang tanah, dan jagung lokal.
- Program “sumur bor komunitas” membantu mengurangi resiko kekeringan 60%.
Muara Angke, Jakarta
- Rintis mangrove rehabilitation zone + jalur petty boat wisata edukatif.
- Pulihkan 100 ha mangrove dalam 3 tahun, mengurangi erosi pesisir hingga 50%.
Pertanian Terpadu di Sleman (DIY)
Kolaborasi antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan Komunitas Tani.
Mengadopsi irigasi tetes dan sensor cuaca – produktivitas padi naik 25%, efisiensi air meningkat 40%.
Tips Praktis untuk Masyarakat Urban
- Kurangi konsumsi plastik & makanan impor – agar rantai pasok lebih lokal dan karbon lebih rendah.
- Tanam pohon dan tumbuhan lokal – membantu penyerapan CO₂ dan menjaga mikroklimat perkotaan.
- Pilih transportasi publik atau miliki sepeda/listrik – menurunkan jejak karbon pribadi.
- Manfaatkan air hujan/greywater – untuk menyiram tanaman atau mencuci.
- Terlibat di komunitas lingkungan – seperti bank sampah, urban farming, dan kampanye hijau.
8. Kesimpulan
Bahwa “kiamat” yang dimaksud ilmuwan bukan sekadar istilah sensasional, melainkan peringatan serius tentang kondisi darurat ekologis. Indonesia—dengan keanekaragaman alamnya yang kaya—bukan pengecualian. Jejak kerusakan sudah terlihat nyata: banjir, kekeringan, suhu ekstrem, kebakaran hutan, dan penurunan hasil laut.